Konsultasi supplemen makanan



Assalamualaikum Wr. Wb.
Akhir-akhir ini banyak dijual supplemen serat makanan berbentuk serbuk minuman yang dibuat untuk menutupi kekurangan konsumsi serat dari makanan sehari-hari.  Pertanyaan saya adalah sebagai berikut :
1.    Apakah serat yang dimaksud ini berasal dari bahan pangan nabati ?  Bila demikian, dari bagian tanaman yang mana serat itu berasal ?
2.    Bila dalam penelitian saya ingin menganalisa serat makanan, metode apakah yang bisa dipakai ?

Aglaia

Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian UMS


Jawab :
Wa’alaikum salam  Wr. Wb.
Aglaia di Sidoarjo,
Pertanyaan anda akan kami jawab satu persatu.
1.    Serat makanan (dietary fiber) memang merupakan bagian dari komponen bahan pangan nabati.  Yang termasuk ke dalam serat makanan adalah seluruh polisakarida dan lignin yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan manusia.   Berdasarkan bentuk utamanya, serat dibagi menjadi lima, yakni selulosa, hemiselulosa, lignin, pektin, dan gum.  Atas dasar macamnya, serat dibagi menjadi dua, yakni serat dapat larut (soluble fiber) dan serat tak dapat larut (insoluble fiber).  Serat dapat larut mencakup pektin, gum, dan beberapa hemiselulosa, ditemukan pada buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian, beras merah, oat, dan dedak oat.   Sedangkan serat tak dapat larut meliputi selulosa, beberapa hemiselulosa, dan lignin.  Serat tak dapat larut dijumpai terutama pada padi-padian utuh dan dalam bentuk selulosa dan lignin, pada bagian luar biji-bijian, buah-buahan, kacang polong-polongan, dan makanan lain, misalnya dedak gandum.
2.    Untuk menganalisa serat makanan telah dikembangkan berbagai metode, tetapi yang sering digunakan adalah metode Van Soest dengan berbagai modifikasinya karena lebih mudah dan cepat.  Dengan metode ini dapat ditentukan kadar ADF (Acid Detergent Fiber), yakni selulosa dan lignin dan NDF (Neutral Detergent Fiber) terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin.  Komponen lain seperti lignin dapat ditentukan dengan metode Klason, sedangkan substansi pektat dengan metode spektrofotometri.

Demikian jawaban dari kami, mudah-mudahan berguna untuk penelitian anda.

Pengasuh : Ida Agustini S.

Keamanan Pangan, Kendala Ekspor Komoditi Pertanian




Sejak lebih dari dasa warsa yang lalu sering kali kita dengar penolakan komoditi ekspor pertanian kita ke Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya.   Komoditas hasil pertanian yang ditolak itu meliputi kopi, pala, lada, jahe, cabe, paha kodok dan udang.  Barang-barang tersebut ditolak karena tidak memenuhi syarat mutu sesuai dengan standar mutu makanan negara tersebut.  Penolakan itu antara lain karena adanya benda-benda asing atau kotoran, adanya serangga (hidup atau mati), barang busuk, mengandung mikroba berbahaya (Salmonella), label tidak sesuai dengan isi atau ada pemalsuan.
Pada FAO/WHO International Conference on Nutrition tahun 1992 telah dideklarasikan bahwa “memperoleh pangan yang cukup bergizi dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang”.  Hal ini disebabkan karena kepriharinan bahwa ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit akibat pangan yang tercemar.   Keamanan pangan selalu menjadi pertimbangan yang terpenting bagi Codex, yakni suatu badan yang dibentuk bersama oleh FAO dan WHO pada tahun 1962.  Kode Etik Perdagangan Internasional di bidang pangan telah dikeluarkan pada tahun 1980 yang intinya menitik – beratkan pentingnya kepastian bahwa makanan yang diperdagangkan aman bagi manusia.

Masalah Keamanan Pangan, Meliputi  Apa Saja ?

Beberapa perhatian penting dalam keamanan pangan  umumnya adalah terhadap kontaminasi mikroba, kontaminasi akibat penggunaan pestisida, kontaminasi lingkungan, menyusul masalah residu  obat-obatan hewan di dalam makanan dan yang terakhir adalah masalah unsur transgenik, yakni produk yang berasal dari hasil rekayasa genetika.
Kontaminasi mikroba pada makanan banyak terjadi , bahkan di negara maju sekalipun.  Tahun 2002, biji almond yang diproduksi di California telah menginfeksi dan menyerang 160 korban di Canada karena terkontaminasi kuman Salmonella. Jauh sebelumnya, pada tahun 1994 terjadi kasus besar wabah penyakit  yang terjadi di 48 negara bagian AS terhadap keracunan es krim.  Hal ini terjadi karena transportasi  “premix” ice cream merk (SWS) yang sangat terkenal di dunia itu, ternyata terkontaminasi oleh beberapa tetes cairan telur mentah yang busuk atau yang terkontaminasi Salmonella enteridis.
Saat ini  sulit  untuk memproduksi hasil pertanian dalam jumlah yang cukup tanpa pertolongan pestisida.  Akibatnya sulit bagi hasil pertanian, khususnya pertanian pangan, bebas dari residu pestisida.  Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, ternyata residu pestisida tidak hanya terdapat pada sayuran, tetapi juga terdapat pada ikan asin,dan susu sapi,  Untuk komoditi sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian diberikan toleransi terbatas bagi pestisida dari 0 sampai beberapa ppm saja.
Kontaminasi lingkungan pada makanan biasanya sangat sulit dihindarkan seperti adanya kandungan logam berat yang berbahaya, misalnya timbal, cadmium dan lain-lain pada kerang-kerangan.  Isu keamanan pangan pada usaha kupang (termasuk kerang) di Sidoarjo sempat mengguncang usaha tersebut.
Residu obat-obatan hewan yakni kloramfenikol pada udang  Indonesia membuat ekspor kita ditolak di Uni Eropa.  Sebelumnya residu  kloramfenikol masih ditoleransi sampai 5 ppb tetapi dengan peraturan baru harus menjadi 0 persen.  Residu kloramfenikol bisa saja berasal dari lingkungan, misalnya udang memakan plankton yang telah ketularan bakteri Streptomyces venezuela sebagai penghasil kloramfenikol alamiah.  Dapat pula akibat pemberian kloramfenikol sintetis untuk mengobati udang, sehingga air tambak tercemar kloramfenikol, atau pada cold storage akibat es yang dipergunakan dari air yang tercemar bakteri Salmonella dan diobati dengan kloramfenikol.
Yang terakhir adalah masalah bahan pangan transgenik yang sampai saat ini masih “ditolak” sebagian besar konsumen dunia.  Bahkan  organisasi kesehatan dunia (WHO) masih belum mampu menetapkan baku keamanan pangan transgenik.  Klaim bahwa pangan transgenik sama amannya dengan pangan konvensional masih jauh dari konsensus.

 Peraturan Apa Saja Yang Harus Dipatuhi ?

Setiap negara membutuhkan program pengawasan pangan untuk menjamin ketersediaan pangan, baik jumlah, mutu, nilai nutrisi dan keamanannya.  Pengawasan pangan mencakup setiap kegiatan yang dilakukan untuk menjamin kualitas, keamanan dan penyajian yang sebenarnya dari makanan pada setiap tahapan dari awal produksi, melalui prosesing dan penyimpanan, sampai ke pemasaran dan konsumsi.
Dalam era globalisasi tidak ada hambatan dalam bentuk tarif dan regulasi dagang harus direduksi bahkan dieliminasi.  Setiap negara tidak punya pilihan lain kecuali membuka pasar domestiknya lebar-lebar untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk memilih.  Persaingan produk lokal dan impor sangat ketat, sehingga bila pengawasan mutu yang dilakukan kurang keras dapat terjadi membanjirnya produk impor dan penolakan produk ekspor.  Globalisasi sarat dengan penyeragaman (harmonisasi) dan liberalisasi.  Saat ini penyeragaman (harmonisasi) proses, produk dan aturan-aturan pertanian sedang berlangsung dengan intens.  Salah satu klausul utama kesepakatan tentang pertanian (Agreement on Agriculture - A0A) dalam kerangka GATT 1994, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan tentang sanitary dan phytosanitary (The SPS Agreement) dalam WTO, berbunyi : “penyeragaman tindakan sanitary dan phytosanitary berdasarkan standar yang diterima secara internasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah”.   
Sistem pengendalian kualitas dan keamanan pangan yang diterapkan pada semua produk pangan yaitu sistem  HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point).  Pada sistem ini, pengawasan dilakukan pada setiap tahap kegiatan hingga sampai ke konsumen.  Dari berbagai kasus keracunan pangan akibat makanan yang terkontaminasi (Foodborne disease), setelah diselidiki penyebabnya ternyata  kontaminasi lebih sering terjadi dalam rantai pangan sebelum diolah, baik yang berasal dari kandang, kolam maupun ladang pertanian.    Kita semakin sadar bahwa tanggung jawab keamanan pangan tidak bisa hanya kita letakkan pada pundak para “tukang masak” saja.  Hal ini disebabkan karena perubahan yang telah terjadi pada sistem produksi di bidang pangan yang sudah modern.

Sulitkah Pengawasan Keamanan Pangan ?

 Jawabannya tentu sangat relatif, tergantung jenis kontaminasinya.  Bila kita perhatikan data bahwa pada periode April 1997 hingga April 1998 penahanan bahan dan produk pangan asal Indonesia oleh Food and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat sebagian besar karena filthhy, demikian pula dengan penahanan dalam periode April 2001 hingga Juli 2001, juga filthy dengan kasus terbanyak pada komoditas biji kakao.  Filthy merupakan pelanggaran kecil, karena menurut US-FDA berarti “sebagian atau seluruh bahan tercemar kotoran dan bahan yang busuk atau tidak sesuai untuk pangan”.  Untuk mendeteksinya cukup mengandalkan pengamatan fisik saja.
Ilustrasi yang menarik untuk mencari titik kritis yang perlu dikendalikan dalam keamanan pangan  diberikan oleh Winarno dalam Kompas (Maret 2003) tentang  kasus keracunan Salmonella di negara bagian Virginia.  Setelah diteliti faktor penyebabnya, ternyata disebabkan oleh buah mangga dari kebun di Brazil.  Ternyata perkebunan mangga tersebut selama bertahun – tahun telah mempraktekkan suatu penanganan (handling) mangga yang salah.  Mangga hasil panen dicelupkan kedalam tangki – tangki yang berisi air hangat untuk mengendalikan lalat buah (fruit fly) dan kemudian diangkat dan dicemplungkan ke dalam tangki lain yang berisi air dingin.  Akan tetapi, proses pendinginan dibiarkan berlangsung dalam tangki yang terbuka di mana terdapat aneka binatang juga kotoran hewan.  Investigator dari Pulse Net (Jaringan “investigasi dunia” terhadap keamanan pangan nasional AS) menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya kontaminasi Salmonella berasal dari air dingin yang tercemari kuman dan terserap masuk ke dalam kulit mangga.  Tangki pendingin merupakan titik kritis yang perlu dikendalikan.  Ternyata penyebabnya sangat sederhana, demikian pula langkah koreksinya.  Sejak itu, semua perkebunan mangga di Brasil melakukan proses pendinginan mangga dengan udara dingin yang diembuskan melalui kipas angin, sedangkan tangki air hangatnya dilengkapi dengan tutup.
Melihat pelanggaran keamanan pangan komoditi ekspor kita yang termasuk “kelas teri” dan contoh pengendalian titik kritis  di atas, dengan tekad yang kuat kita pasti dapat melewati kendala ini.  Semoga !

Penulis :  Ida Agustini S.

Keju “Punya Cerita”



Keju merupakan  salah satu  produk susu yang paling banyak dikonsumsi.  Saat ini kita sangat mudah menemukan makanan yang mengandung keju seperti pizza, roti, serabi, makaroni tabur keju, kue-kue lebaran yang kental rasa keju dan lain-lain. Keju memang dapat membuat makanan lebih gurih dan creamy.
Keju atau cheese berasal dari kata inggris kuno yaitu cese dan chiese atau dari bahasa latin caseus. Kata keju sendiri berasal dari bahasa Portugis, queijo, adalah makanan padat yang dibuat dari susu sapi, kambing, domba, dan mamalia lainnya.
Keju dibuat dari susu dengan menghilangkan kandungan airnya dengan menggunakan kombinasi rennet dan pengasaman. Bakteri juga digunakan pada pengasaman susu untuk menambahkan tekstur dan rasa pada keju.

Cerita asal muasal si keju

Perkiraan awal adanya pembuatan keju adalah antara 8000 SM (ketika domba mulai diternakkan) sampai 3000 SM. Pembuat keju pertama diperkirakan adalah manusia di Timur Tengah atau suku-suku nomaden di Asia Tengah. Bukti arkeologis pertama tentang pembuatan keju ditemukan pada mural di makam Mesir Kuno, yang dibuat pada 2000 SM.
Menurut sebuah legenda Arab, seorang pengembara berkelana dengan kudanya sambil membawa susu dalam tempat minumnya. Seteah beberapa jam, ternyata susu itu telah terpisah menjadi gumpalan putih dan cairan berwarna pucat.  Ternyata hal itu disebabkan oleh tempat minum yang dapat menggumpalkan susu, cahaya matahari yang terik dan gerakan kuda selama berkelana. Tanpa mengetahui hal itu, si pengembara mencicipi cairan dan gumpalan itu, dan menganggap rasanya enak.
Pada masa Romawi Kuno, keju sudah menjadi makanan sehari-hari, dan pembuatan keju telah menjadi usaha yang telah teratur. Pembuatan keju dengan rennet, proses menghilangkan kandungan air, penggaraman, dan proses penuaannya diceritakan dalan buku De Re Rustica tulisan Columella (65 M). Berbagai jenis keju yang dikonsumsi orang Romawi ditulis oleh Pliny (77 M) dalam Natural History. Kekaisaran Romawi juga yang menyebarkan teknik pembuatan keju di Eropa.
Perjalanan panjang si keju menghasilkan ratusan macam keju di Eropa yang kita kenal saat ini, wahh

Penulis : Ida Agustini S