Sejak
lebih dari dasa warsa yang lalu sering kali kita dengar penolakan komoditi
ekspor pertanian kita ke Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya. Komoditas hasil pertanian yang ditolak itu
meliputi kopi, pala, lada, jahe, cabe, paha kodok dan udang. Barang-barang tersebut ditolak karena tidak
memenuhi syarat mutu sesuai dengan standar mutu makanan negara tersebut. Penolakan itu antara lain karena adanya
benda-benda asing atau kotoran, adanya serangga (hidup atau mati), barang
busuk, mengandung mikroba berbahaya (Salmonella), label tidak sesuai dengan isi
atau ada pemalsuan.
Pada
FAO/WHO International Conference on
Nutrition tahun 1992 telah dideklarasikan bahwa “memperoleh pangan yang
cukup bergizi dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang”. Hal ini disebabkan karena kepriharinan bahwa
ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit akibat pangan yang
tercemar. Keamanan pangan selalu
menjadi pertimbangan yang terpenting bagi Codex, yakni suatu badan yang
dibentuk bersama oleh FAO dan WHO pada tahun 1962. Kode Etik Perdagangan Internasional di bidang
pangan telah dikeluarkan pada tahun 1980 yang intinya menitik – beratkan
pentingnya kepastian bahwa makanan yang diperdagangkan aman bagi manusia.
Masalah Keamanan Pangan, Meliputi Apa Saja ?
Beberapa
perhatian penting dalam keamanan pangan
umumnya adalah terhadap kontaminasi mikroba, kontaminasi akibat
penggunaan pestisida, kontaminasi lingkungan, menyusul masalah residu obat-obatan hewan di dalam makanan dan yang
terakhir adalah masalah unsur transgenik, yakni produk yang berasal dari hasil
rekayasa genetika.
Kontaminasi
mikroba pada makanan banyak terjadi , bahkan di negara maju sekalipun. Tahun 2002, biji almond yang diproduksi di
California telah menginfeksi dan menyerang 160 korban di Canada karena
terkontaminasi kuman Salmonella. Jauh sebelumnya, pada tahun 1994 terjadi kasus
besar wabah penyakit yang terjadi di 48
negara bagian AS terhadap keracunan es krim.
Hal ini terjadi karena transportasi
“premix” ice cream merk (SWS) yang sangat terkenal di dunia itu,
ternyata terkontaminasi oleh beberapa tetes cairan telur mentah yang busuk atau
yang terkontaminasi Salmonella enteridis.
Saat ini
sulit untuk memproduksi hasil
pertanian dalam jumlah yang cukup tanpa pertolongan pestisida. Akibatnya sulit bagi hasil pertanian,
khususnya pertanian pangan, bebas dari residu pestisida. Dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan, ternyata residu pestisida tidak hanya terdapat pada sayuran, tetapi
juga terdapat pada ikan asin,dan susu sapi,
Untuk komoditi sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian diberikan toleransi
terbatas bagi pestisida dari 0 sampai beberapa ppm saja.
Kontaminasi
lingkungan pada makanan biasanya sangat sulit dihindarkan seperti adanya
kandungan logam berat yang berbahaya, misalnya timbal, cadmium dan lain-lain
pada kerang-kerangan. Isu keamanan
pangan pada usaha kupang (termasuk kerang) di Sidoarjo sempat mengguncang usaha
tersebut.
Residu
obat-obatan hewan yakni kloramfenikol pada udang Indonesia membuat ekspor kita ditolak di Uni
Eropa. Sebelumnya residu kloramfenikol masih ditoleransi sampai 5 ppb
tetapi dengan peraturan baru harus menjadi 0 persen. Residu kloramfenikol bisa saja berasal dari
lingkungan, misalnya udang memakan plankton yang telah ketularan bakteri Streptomyces venezuela sebagai penghasil
kloramfenikol alamiah. Dapat pula akibat
pemberian kloramfenikol sintetis untuk mengobati udang, sehingga air tambak
tercemar kloramfenikol, atau pada cold
storage akibat es yang dipergunakan dari air yang tercemar bakteri
Salmonella dan diobati dengan kloramfenikol.
Yang
terakhir adalah masalah bahan pangan transgenik yang sampai saat ini masih
“ditolak” sebagian besar konsumen dunia.
Bahkan organisasi kesehatan dunia
(WHO) masih belum mampu menetapkan baku keamanan pangan transgenik. Klaim bahwa pangan transgenik sama amannya
dengan pangan konvensional masih jauh dari konsensus.
Peraturan Apa Saja Yang Harus Dipatuhi ?
Setiap
negara membutuhkan program pengawasan pangan untuk menjamin ketersediaan
pangan, baik jumlah, mutu, nilai nutrisi dan keamanannya. Pengawasan pangan mencakup setiap kegiatan
yang dilakukan untuk menjamin kualitas, keamanan dan penyajian yang sebenarnya
dari makanan pada setiap tahapan dari awal produksi, melalui prosesing dan
penyimpanan, sampai ke pemasaran dan konsumsi.
Dalam
era globalisasi tidak ada hambatan dalam bentuk tarif dan regulasi dagang harus
direduksi bahkan dieliminasi. Setiap
negara tidak punya pilihan lain kecuali membuka pasar domestiknya lebar-lebar
untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk memilih. Persaingan produk lokal dan impor sangat
ketat, sehingga bila pengawasan mutu yang dilakukan kurang keras dapat terjadi
membanjirnya produk impor dan penolakan produk ekspor. Globalisasi sarat dengan penyeragaman
(harmonisasi) dan liberalisasi. Saat ini
penyeragaman (harmonisasi) proses, produk dan aturan-aturan pertanian sedang
berlangsung dengan intens. Salah satu klausul
utama kesepakatan tentang pertanian (Agreement
on Agriculture - A0A) dalam kerangka GATT 1994, yang kemudian dikenal
sebagai kesepakatan tentang sanitary
dan phytosanitary (The SPS Agreement) dalam WTO, berbunyi :
“penyeragaman tindakan sanitary dan phytosanitary berdasarkan standar yang
diterima secara internasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah”.
Sistem pengendalian kualitas dan keamanan pangan
yang diterapkan pada semua produk pangan yaitu sistem HACCP (Hazard
Analysis and Critical Control Point).
Pada sistem ini, pengawasan dilakukan pada setiap tahap kegiatan hingga
sampai ke konsumen. Dari berbagai kasus
keracunan pangan akibat makanan yang terkontaminasi (Foodborne disease), setelah diselidiki penyebabnya ternyata kontaminasi lebih sering terjadi dalam rantai
pangan sebelum diolah, baik yang berasal dari kandang, kolam maupun ladang
pertanian. Kita semakin sadar bahwa
tanggung jawab keamanan pangan tidak bisa hanya kita letakkan pada pundak para
“tukang masak” saja. Hal ini disebabkan
karena perubahan yang telah terjadi pada sistem produksi di bidang pangan yang
sudah modern.
Sulitkah Pengawasan Keamanan Pangan ?
Jawabannya tentu sangat relatif, tergantung
jenis kontaminasinya. Bila kita
perhatikan data bahwa pada periode April 1997 hingga April 1998 penahanan bahan
dan produk pangan asal Indonesia oleh Food
and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat sebagian besar karena filthhy, demikian pula dengan penahanan
dalam periode April 2001 hingga Juli 2001, juga filthy dengan kasus terbanyak pada komoditas biji kakao. Filthy
merupakan pelanggaran kecil, karena menurut US-FDA berarti “sebagian atau
seluruh bahan tercemar kotoran dan bahan yang busuk atau tidak sesuai untuk
pangan”. Untuk mendeteksinya cukup
mengandalkan pengamatan fisik saja.
Ilustrasi
yang menarik untuk mencari titik kritis yang perlu dikendalikan dalam keamanan
pangan diberikan oleh Winarno dalam
Kompas (Maret 2003) tentang kasus
keracunan Salmonella di negara bagian Virginia.
Setelah diteliti faktor penyebabnya, ternyata disebabkan oleh buah
mangga dari kebun di Brazil. Ternyata
perkebunan mangga tersebut selama bertahun – tahun telah mempraktekkan suatu
penanganan (handling) mangga yang
salah. Mangga hasil panen dicelupkan
kedalam tangki – tangki yang berisi air hangat untuk mengendalikan lalat buah (fruit fly) dan kemudian diangkat dan
dicemplungkan ke dalam tangki lain yang berisi air dingin. Akan tetapi, proses pendinginan dibiarkan
berlangsung dalam tangki yang terbuka di mana terdapat aneka binatang juga
kotoran hewan. Investigator dari Pulse
Net (Jaringan “investigasi dunia” terhadap keamanan pangan nasional AS)
menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya kontaminasi Salmonella berasal dari air
dingin yang tercemari kuman dan terserap masuk ke dalam kulit mangga. Tangki pendingin merupakan titik kritis yang
perlu dikendalikan. Ternyata penyebabnya
sangat sederhana, demikian pula langkah koreksinya. Sejak itu, semua perkebunan mangga di Brasil
melakukan proses pendinginan mangga dengan udara dingin yang diembuskan melalui
kipas angin, sedangkan tangki air hangatnya dilengkapi dengan tutup.
Melihat
pelanggaran keamanan pangan komoditi ekspor kita yang termasuk “kelas teri” dan
contoh pengendalian titik kritis di
atas, dengan tekad yang kuat kita pasti dapat melewati kendala ini. Semoga !Penulis : Ida Agustini S.